Mengapa Pemerintah Setega Itu Terhadap Kelas Menengah?

Jakarta –
Terlihat segerombolan orang berlari-lari menaiki tangga. Mereka masuk, berdesak-desakan antarsesama lainnya. Di dalamnya sarat sesak. Aroma keringat tercium begitu menyengat. Sembari berdiri, letih dan kantuk terlihat terang di wajah mereka. Mereka yg kebagian wilayah duduk, ada yang sudah tertidur pulas. Meski begitu, tangan mereka tetap awas menggenggam dekat tas dan barang bawaannya. Kepala mereka bersandar di kaca, sebagian dari mereka mulutnya terlihat menganga, ada pula yang kepalanya menunduk. Jelas, mereka begitu lelah.
Citra atas suatu suasana sosial yg senantiasa terlihat setiap kali aku menaiki commuter line di Jakarta. Mayoritas mereka merupakan kelas menengah yang hidupnya sungguh bergantung dengan akomodasi publik, yang sumbernya tentu dari pemasukan mereka yang diiris oleh pajak. Mulai dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan beroda empat dan kendaraan bermotor, serta pajak bumi dan bangunan. Itu yaitu sedikit restribusi yg mereka relakan dengan cita-cita mampu mendapat kepraktisan kepada akses-akses keperluan dasar, misalnya transportasi publik.
Belakangan, kita tahu, mulai tahun depan pajak pertambahan nilai dinaikkan menjadi 12% dalam setiap pengeluaran yg dilaksanakan oleh kelas menengah. Selain pajak, kelas menengah juga menanggung banyak sekali iuran sosial. Misalnya iuran jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan keamanan kerja, kemudian Tapera, yaitu sederet keharusan kelas menengah yg dalam realisasinya, mesti diiris dari pemasukan tiap bulan yg mereka peroleh.
Tentu semua iuran itu mereka keluarkan dengan cita-cita mendapat pengaman sosial yg mencukupi dari negara. Tapi, cita-cita itu nyatanya tidak pernah diwujudkan dengan maksimal oleh pemerintah. Kelas menengah menyerupai diminta menyerah di dikala para taipan kelas atas mendapat insentif pajak menyerupai family office.
Jumlah yg Sangat Tinggi
Indonesia, dengan lebih dari 250 juta penduduk, memiliki komposisi kelas menengah yg sungguh tinggi. Jika diakumulasikan, persentase kelas menengah dan kelas menengah rentan per Februari 2024 menurut data BPS meraih 66,35% atau 178.35 juta penduduk. Jumlah itu mengalami peningkatan yang signifikan selama lima tahun terakhir alasannya yaitu ketidakpastian ekonomi, ditandai dengan lesunya sektor manufaktur lewat fenomena PHK yg besar-besaran.
Jumlahnya yang sungguh tinggi ditambah dengan basis perekonomian Indonesia yg berorientasi pada konsumsi rumah tangga menghasilkan kelas menengah jadi penopang untuk perkembangan ekonomi di Indonesia. Ironisnya, pemasukan kelas menengah di Indonesia terbilang rendah. Interval pemasukan yg masuk klasifikasi kelas menengah yaitu yg beropini Rp 1,2 juta – Rp 6 juta. Sementara kelas menengah rentan di kisaran Rp 532 ribu â Rp 1,2 juta.
Dengan honor segitu, mereka mesti menanggung pengeluaran yang tinggi tiap bulannya. Data Mandiri Spending Index (MSI) mengemukakan bahwa pengeluaran bagi groceries (bahan makanan) kelas menengah telah meningkat dari sebelumnya 13,9% menjadi 27,4% dari total pengeluaran. Perhatikan, nyaris 30% honor mereka cuma buat makanan. Porsi itu belum dijumlah dengan keperluan non pangan.
Selain itu, yang tak kalah penting, mereka yaitu kelas ekonomi yang memiliki tanggungan kredit yg cukup tinggi, baik dengan perbankan, leasing, maupun forum keuangan lainnya. Hal itu alasannya merupakan sikap mereka yg berorientasi pada prinsip time preference of consumption yg mendorong mereka mengambil kredit untuk komoditas penting alasannya merupakan harganya yang tidak sanggup dijangkau oleh honor mereka.
Semua itu kemudian mesti ditambah dengan banyak sekali iuran dan retribusi yg menggunung. Nestapanya, mereka yaitu kelas ekonomi yang tidak dijangkau oleh kesibukan sosial menyerupai halnya pemberian Keluarga Asa atau Bantuan Langsung Tunai. Mereka dipaksa mengeluarkan duit banyak sekali komoditas sosial menyerupai BBM dan listrik non subsidi.
Wajar apabila sepanjang 2024, BPS mencatat bahwa perekonomian dalam negeri mengalami deflasi –penurunan harga barang– yang cukup parah. Hal itu alasannya merupakan kelas menengah menjajal mengencangkan ikat pinggang dan akan pilih-pilih dalam berbelanja barang. Mereka menahan duit mereka buat menghadapi ketidakpastian ekonomi sekaligus ketidakpastian politik yg tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak milik daya dukung sosial buat mereka. Imbasnya, barang-barang yg dijual oleh pedagang jadi tidak laris dan harganya pun menurun drastis.
Masih Terus Usil
Di tengah keadaan yang terhimpit, pemerintah justru masih terus usil dan tega dengan mengeluarkan rencana pemotongan honor untuk pegawai bagi keperluan dana pensiun tambahan. Program ini tentu menuai reaksi penolakan dari masyarakat, khususnya kelas menengah. Program ini dihadirkan dengan alasan selaku pengaman sosial buat pekerja di masa depan. Kebijakan ini tentu memiliki cacat nalar dan tenggang rasa alasannya yaitu seolah menutup mata dengan keadaan ekonomi dikala ini.
Daya beli yg menurun sudah semestinya teratasi dengan kebijakan yang berorientasi pada penguatan daya beli masyarakat, misalnya dengan peningkatan insentif atau pendapatan. Bukan dengan memalak kembali kelas menengah yang menghasilkan takaran pemasukan mereka makin berkurang. Praktik ini justru menghasilkan daya beli makin menurun sehingga memperlambat perekonomian di dalam negeri.
Terlebih, tentu kami tak lupa bagaimana buruknya campur tangan pemerintah dalam pengelolaan dana dari masyarakat. Sebut saja soal Asabri, Jiwasraya, dan Taspen yang segala kasusnya menguap hanya menyisihkan para nasabahnya yg cuma jadi residu-residu yg tidak dianggap. Bahkan, pengelolaan dana haji pun disorot terkait transparansi pemanfaatannya.
Track record yg sedemikian tak profesionalnya menghasilkan banyak luar biasa dan praktisi curiga dengan pemerintah. Mereka seolah begitu gelagapan dan tergesa-gesa merekomendasikan kebijakan tanpa menyingkap secara komprehensif implikasinya secara multidimensional. Mengapa mesti terburu-buru? Kenapa tak menanti suasana ekonomi membaik terlebih lalu? Apa yg sedang dikejar? Atau, pertanyaan yang lebih relevan, kenapa pemerintah setega itu dengan kelas menengah?
Pemerintah, dengan model komunikasi publik pejabatnya yang acap bikin pusing, tentu punya seribu argumentasi bagi membenarkan kebijakan gila yang dikeluarkan. Sebagai masyarakat, terlebih kelas menengah, pada hasilnya saya dan kalian kembali ditekan. Ditekan selaku tulang punggung perkembangan ekonomi sekaligus mungkin selaku sumber dana segar yg dibutuhkan oleh pemerintah buat proyek populis yg menelan budget yg tentu tidak sedikit.
Mungkin memang begini nasib kelas menengah. Menjalani hidup dengan berpanas-panasan dan bermacetan di jalan, berdesak-desakan di dalam kereta, serta senantiasa overthinking soal ongkos hidup di masa depan. Semua itu mesti dilalui dengan honor pas-pasan yang diterima sehabis diiris dengan pajak dan retribusi yang keuntungannya tak terang dicicipi kapan.
Muhamad Iqbal mahasiswa Pascasarjana Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga
Simak juga Video ‘Prabowo ke Para Buruh: Kita Hilangkan Kemiskinan dari Indonesia!’:
kelas menengahdaya belideflasiHoegeng Awards 2025Baca cerita inspiratif kandidat polisi pola di siniSelengkapnya